Jalan Tasauf: Upaya Penyelesaian Konflik

Tasawwuf Sufi Whirling Dervish Watercolor Painting by Muhammad ...

Pernyataan A.W. Wilson dalam bukunya “Against Religion: Why We Should Try to Live Without It” yang mempertanyakan peran agama bagi manusia kembali menohok nurani kita melihat fenomena keberingasan massa nyaris tampil setiap terjadi unjuk rasa di beberapa daerah yang berujung pada pengrusakan harta benda milik individu maupun milik publik. Padahal republik ini rakyatnya sepakat bahwa agama menjadi landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Agama bukan sekadar candu rakyat” seperti yang dilansir oleh Marx, bahkan lebih berbahaya lagi. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran. Dengan demikian apa gunanya beragama bagi suatu bangsa jika peperangan, kebiadaban masih menjadi bagian kehidupan bangsa tersebut?” Itulah inti pendapat dari seorang novelis dan wartawan Inggris ini.

Dengan arif para cendikiawan agama memperbaiki sekaligus menyanggah pernyataan di atas, bahwa kesalahan bukan terletak pada agamanya melainkan para pemeluknya. Sebab kebenaran agama bersumber dari Yang Maha Benar sehingga pasti benar, kalaupun terjadi kesalahan, dikarenakan kelemahan tingkat pemahaman pemeluknya. Atau implementasi ajaran agama tidak sesuai dengan sumber asli yang dicontohkan nabi, sang pembawa risalah. Jadi yang diperbaiki adalah tingkat apresiasi dan kesungguhan umat beragama dalam melaksanakan perintah agama.

Terlepas dari adanya ulah provokator atau elit politik yang bermain, sebenarnya kerusuhan tersebut tidak perlu terjadi jika nilai-nilai moral agama berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat. Sebab tidak ada sebuah agama pun yang memerintahkan pemeluknya berbuat kerusakan di muka bumi ini, bahkan sebaliknya harus menjadi pengelola/pemakmur bumi. Hampir semua agama (di Indonesia) mempunyai kesamaan pandangan dalam hal moralitas, artinya semua perintah dalam agama apapun akan berujung pada penciptaan atau pencapaian moral para pemeluknya. Innama buistu li utammima makarimal akhlak (aku -kata Nabi Muhammad SAW,- diutus Allah semata-mata untuk memperbaiki moral). Juga perintah Nabi Isa AS yang memerintahkan umat Nasrani menebar kasih di bumi, demikian juga perintah-perintah dari sang pembawa risalah agama lainnya yang dipastikan senada mengindikasikan bahwa moralitas luhur adalah kesamaan tujuan dari semua agama.

Moralitas ihsan (orangnya disebut muhsin) merupakan moralitas yang tertinggi, karena orang yang telah memiliki moralitas ini mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan Allah, setiap perilakunya akan senantiasa merasa dilihat-Nya. Sehingga setiap tindakan dalam bergaul dan bermasyarakat akan memakai ukuran/standar yang telah ditetapkan Allah. Orang seperti ini mustahil akan berbuat kerusakan di muka bumi, menganiaya manusia lain apalagi membunuhnya.

Memandang manusia sebagai makhluk Allah yang mempunyai hak hidup, hak memilih kepercayaan yang dianut, hak bertempat tinggal, hak berekonomi dan lainnya bukan memandang manusia dengan ukuran seagama atau tidak. Fanatisme agama (yang sempit) berubah menjadi fanatisme terhadap Allah dengan senantiasa menunaikan perintah-perintah Nya secara maksimal.

Untuk mencapai derajat ihsan, jalan yang terbaik adalah dengan melakukan tazkiatun nafs (penyucian jiwa). Dalam terminologi Islam metode penyucian jiwa dikenal dalam disiplin tasauf. Sebab dari sejarah kita bisa melihat bahwa para nabi sebelum menerima risalah dipastikan melalui kontemplasi (perenungan), menahan diri (berpuasa) dari makanan haram juga dari perbuatan-perbuatan mencela manusia lain, dan itu semua merupakan jalan tasauf.

Tasauf itu sendiri bisa diartikan dengan membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala ketamakan dan keserakahan, memerangi hawa nafsu yang berlebihan untuk kesejahteraan diri (Prof. Dr. Hamka, Tasauf Modern).

Beberapa kiat untuk mencapai kesejahteraan diri (pada gilirannya juga akan memunculkan kesejahteraan masyarakat, sebab masyarakat terdiri dari beberapa individu) di antaranya adalah:

  1. Motivasi yang kuat serta menyesali kesalahan (jihad dan taubat). Manusia terdiri dari rohani dan jasmani, keberhasilan seseorang dalam kehidupan didominasi oleh kesehatan rohani. Bahkan dalam dunia medis dikenal banyaknya penyakit yang muncul karena berawal dari tidak bersihnya kehidupan rohani seseorang. Niat seseorang dalam melaksanakan keinginan akan berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan yang diinginkannya tersebut. Begitu halnya dengan jalan tasauf harus dimulai dengan mujahadah sehingga rintangan sebesar apapun akan dipandang kecil. Manusia adalah makhluk yang sarat dengan kekhilafan, artinya khilaf adalah fitrah manusia yang pada kadar tertentu justru menjadi kemuliaan dirinya (selama dia mawas diri dan melakukan taubat, tidak melakukan kesalahan yang sama secara sengaja).
  2. Berpuasa (menahan diri dari sesuatu yang halal dan berlebihan). Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta nafsu syahwat menurut waktu yang telah ditentukan oleh syariat. Menahan diri mengkonumsi makanan yang baik (dari segi sumber perolehannya maupun dari segi kualitasnya) akan membentuk kepribadian seseorang yang bersolidaritas tinggi terhadap lingkungannya. Akan bersikap menahan diri dari prilaku konsumtif yang berlebihan meskipun dia mampu untuk itu. Dengan melakukan rutinitas puasa Senin dan Kamis misalnya, akan sangat bermanfaat bagi pencapaian derajat ikhsan.
  3. Khalwat dan uzlah dalam rangka menyembah Allah. Melakukan khalwat dan uzlah adalah menyendiri dan mengasingkan diri dari pengaruh duniawi untuk menumbuhkan perasaan cinta pada Allah. Proses ini dilakukan setiap hari pada tengah malam atau pada sepertiga malam dengan mengerjakan salat malam (tahajud) dengan khusyuk. Di saat orang tengah tidur lelap, memohon dan meminta kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati,
  4. Dzikir dan doa (menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya). Memperbanyak istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan ucapan yang sejenis. Dengan itu akan membersihkan jiwa kita dari kerak- kerak dunia yang tidak perlu (arogan, dengki, tamak, berbohong dan sebagainya). Segala kelebihan dan kekurangan yang dipunyai dikembalikan kepada Tuhan selaku pemilik serta penguasa jagat raya dan seisinya. Melakukan dzikir, baik lisan maupun dalam hati tidak harus dalam. waktu yang khusus, melainkan bisa dilakukan di sela aktifitas rutin dalam keseharian manusia, bekerja misalnya. Kemudian membiasakan berdoa dalam melakukan setiap perbuatan seperti dicontohkan Rasullah, akan senantiasa meninggatkan kita tentang keberadaan Allah dalam hidup dan kehidupan kita.
  5. Membaca al-Quran dengan khusyuk. Membaca al-Quran dengan khusyuk, baik mengetahui artinya atau tidak akan akan membawa seseorang kepada ketenangan jiwa dan ketentraman hati (seperti yang diungkap oleh Dr. Quraish Shihab dalam buku Mukjizat al Quran).

Kelima jalan tasauf di atas jika ditekuni dan dilaksanakan secara intens maka akan memunculkan sosok manusia yang semua karakter serta prilakunya mencerminkan sifat-sifat ilahiah. Sosok hamba Allah (Abdullah) menyerap sifat-sifat Tuhannya, sifat pemurah (al Karim), pemaaf (al-Afwu), adil (al-Adl), cerdas (ar-Rosyid), penyabar (ash-Shobur), kreatif (al-Bari’), mandiri (al-Qoyyum) adalah beberapa prilaku yang dipunyai seorang muhsin. Itu adalah prilaku atau karakter dasar yang harus dipunyai oleh suatu masyarakat yang menghendaki bangsa dan negaranya maju.

Anggapan sementara orang bahwa tasauf justru menjadi sesuatu yang kontraproduktif bagi kemajuan suatu masyarakat atau negara sebenarnya tidak mempunyai landasan yang jelas. Mereka bersikap apriori lebih disebabkan karena belum mengetahui atau membaca literatur tasauf dengan baik, atau mungkin mereka mengetahui bahwa biasanya tasauf dianut oleh sekelompok orang yang hidupnya eksklusif, jauh dari kehidupan masyarakat umumnya (beberapa literatur tasauf akan menjawab tentang kesalahpahaman, di antaranya Tasauf Modern-nya Hamka atau Risalatul Qusyairiyah-nya Imam al Qusyuairy an Naisabury

Konsep khalwat dan uzlah dalam tasauf tidak harus dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari pergaulan dan rutinitas kehidupan manusia umumnya, tetapi dengan melakukan salat malam pada tengah malam buta saat orang sedang tertidur lelap kiranya cukup memadai sebagai metode olah batin yang efektif sebagai sarana pendekatan kepada Sang Khalik.
Juga adanya anggapan bahwa jalan tasauf harus dipimpin oleh seorang syaikh atau tasauf merupakan monopoli para santri yang mendalami ilmu-ilmu agama dan mempunyai intelektualitas dan pengetahuan agama tertentu. Bahkan adanya anggapan bahwa penempuh jalan tasauf harus membayar biaya cukup mahal (seperti sekarang banyak dilakukan lembaga-lembaga keagamaan beberapa kota besar yang menawarkan paket tasauf bertempat di hotel berbintang) adalah sesuatu yang kurang tepat. Upaya pendekatan seorang hamba kepada penciptanya bersifat langsung tidak harus melalui “perantara”. Metodologinya telah digariskan dan dicontohkan oleh Rasulullah, tinggal niat yang kuat dan keikhlasan diperlukan untuk keberhasilannya.

Konsep zuhud dalam tasauf bukan berarti seseorang harus membenci harta dan dunia, justru sebaliknya harus mencari harta kekayan untuk menopang diri, masyarakat dan agamanya. Hanya saja doktrin yang dipegangnya adalah lebih mencintai pemberi nikmat dari pada nikmat itu sendiri, lebih mencintai Allah sebagai pemberi harta kekayaan dari pada kekayaan yang telah diperolehnya, sehingga apapun aktifitas dunia yang dilakukannya dalam rangka kecintaannya kepada Allah bukan berdasarkan pemuasan hawa nafsunya belaka.

Sudah waktunya juga kurikulum pendidikan agama di sekolah yang pekat warna verbalismenya (menonjolkan hapalan, dan memperlakukan agama sebatas pengetahuan belaka) diganti dengan pendekatan tasauf (kristalisasi melalui penghayatan dan pengamalan yang intens) sehingga akan terbentuk pribadi-pribadi yang cerdas trampil dan memiliki moralitas yang jujur, demokratis, santun, etos kerja baik. Mencegah mereka berbuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan tawuran, perusakan fasilitas umum dan prilaku destruktif lainnya.

Kontributor

Sukardi
(Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan – PDM Kota Cirebon)
Tim Media Muhammadiyah Kota Cirebon

Komentar (Tanggapan)

Kirim Tanggapan