Menyiasati Jebakan FOMO

Fomo @The Thunderword - Official Newspaper of Highline College

Sahabat Salamah bin Al-Akwa dalam kitab Imam Bukhori pernah meriwayatkan bahwa Rasulallah pernah enggan menyolatkan jenazah yang masih memiliki utang, meski akhirnya Rasulallah menyolatkan jenazah tersebut setelah salah seorang sahabat menjamin pelunasan utang jenazah tersebut. Keengganan Rasulallah menyolatkan bukanlah suatu bentuk penghakiman, tapi lebih kepada sebuah ta’dib (peringatan) bagi umatnya agar sebisa mungkin menghindari utang. Karena dalam dalam riwayat yang lain, Imam Muslim pernah melansir dalam kitab kumpulan haditsnya bahwa Rasulallah bersabda seorang yang mati syahid akan diampuni segala dosanya, kecuali utangnya.

Fenomena berutang ini semakin marak seiring dengan kian memasyarakatnya teknologi informasi di kalangan masyarakat luas, yakni menjamurnya pinjaman online (pinjol), dimana sebuah entitas ekonomi memberikan pinjaman dalam nominal mendekati angka ratusan juta rupiah kepada pemegang gadget/HP. Pinjol ini rata-rata mengklaim telah mendapatkan ijin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan.

Dengan iming-iming tidak memerlukan jaminan (colleteral), berbunga ringan, tenor/jangka waktu panjang serta kemudahan lainnya sedikit banyak menarik pemimpin keluarga muda, pegawai yang penghasilannya hanya cukup untuk konsumsi primer selama sebulan, pengangguran terselubung, dan pengusaha kecil yang belum mapan dari sisi perputaran usahanya. Mereka tidak terlalu memikirkan kemampuan finansial saat pinjaman ditambah bunga jatuh tempo.

Salah satu penyebab pinjol populer dan direspon/diserap masyarakat adalah karena kian berkembangnya gaya hidup hedonis yang kian digandrungi sebagian kalangan, terutama gaya hidup tidak boleh kalah atau dikenal dengan istilah FOMO (Fear Of Missing Out). Tekanan untuk tampil tidak boleh kalah dengan orang lain lebih kuat daripada pemenuhan kebutuhan realistis, takut tertinggal tren, takut terlihat ‘biasa saja’. Harus punya gadget terbaru, nongkrong di kafe hits yang menguras dompet, memakai barang bermerk, padahalan kondisi keuangan tidak mendukung.

Mindset atau pola pikir FOMO tanpa didukung oleh kemampuan finansial yang memadai ini cenderung akan berujung pada munculnya mindset yang lain. Mindset yang mendukung pemenuhan FOMO secara cepat dalam jangka pendek, meski sebenarnya tidak tepat dalam jangka panjang,yakni dengan cara berutang. Dikatakan tidak tepat dalam jangka panjang karena penganut FOMO kadang hanya menghitung bunga harian yang murah (bunga per bulan dibagi 30 atau 31 hari) sehingga terlihat kecil. Penganut FOMO juga cenderung memiliki self control atau kontrol diri yang lemah, mudah terjebak pada bujukan atau godaan promo yang dikeluarkan para pemilik entitas ekonomi kreditur dan juga kerap terpengaruh pada jargon-jargon ekonomi lingkungan sosial yang mengagungkan utang.
Biar sama dengan teman-teman,” “Semua orang juga punya utang,” “Bisa bayar nanti,” alih-alih menunda kepuasan untuk menabung, orang memilih memuaskan diri sekarang dan membiarkan masa depan menanggung bebannya.

Perilaku hedonis, yang penting bisa menikmat sekarang, urusan nanti belakangan, cenderung akan menegasikan semua risiko masa depan. Pengabaikan risiko dampak inflasi, bunga atau kemungkinan kehilangan penghasilan, atau perubahan situasi ekonomi – terkena PHK, usaha sepi, atau ada kebutuhan darurat-, beban utang bisa menghancurkan segalanya.

Selain beban finansial, pola pikir keliru terkait utang juga punya dampak psikologis. Rasa cemas setiap kali ada notifikasi tagihan, insomnia karena memikirkan cicilan, rasa bersalah terhadap keluarga karena penghasilan habis untuk membayar utang. Dan dalam jangka panjang, kondisi ini akan merusak kesehatan mental dan relasi sosial. Utang bukan hanya soal angka di atas kertas atau layar gadget, tapi juga beban emosional yang membatasi kebebasan seseorang

Dari uraian yang ‘agak suram’ di atas maka hendaknya setiap orang yang mengambil jalan ihsan terkait dengan aktifitas ekonomi, mengembalikan mindsetnya pada rel yang telah ditetapkan Rasul melalui teks kitab suci, bahwa Allah telah menjamin rizki setiap orang (QS Hud : 6). Bahwa rizki yang didapatkan setiap orang yang berusaha mencari secara halal itu mencukupi hidup dan kehidupannya. Penundaaan pemenuhan kebutuhan dan pengelolaan rizki yang tepat mutlak diperlukan. Mindset bahwa berutang sebenarnya mengambil sesuatu di masa depan untuk dipakai saat sekarang sehingga mengurangi kemampuan bertahan hidup kelak harus selalu menjadi pegangan dalam bertransaksi ekonomi.

Berhutang adalah sesuatu yang manusiawi, bahkan Rasulallah juga, karena sesuatu yang darurat, pernah berhutang dengan menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk membeli gandum untuk kebutuhan keluarganya. Berhutang saat memulai bisnisnya kepada seorang konglomerat Mekah, Ibunda Khadijah, yang kelak menjadi istrinya. Berhutang diperbolehkan untuk situasi darurat untuk pemenuhan kebutuhan primer atau untuk pengembangan bisnis, bukan untuk memuaskan nafsu hedonis.

Fenomena FOMO memang tidak akan pernah berhenti menghantui rasionalitas pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, terutama di kalangan kaum muda. Kebutuhan membentuk generasi penerus yang memiliki resistensi terhadap FOMO layak dilakukan oleh para orang tua dan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan. Diperlukan upaya intensif memupuk mentalitas mandiri yang memiliki self control yang prima terhadap FOMO bagi kawula Gen Z dan Gen Alpha harus menjadi agenda utama, baik melalui pengajian-pengajian rutin dengan variasi metode yang menarik, melalui sosial media lembaga, serta media interaksi sosial lainnya. Dan Muhammadiyah sebagai lembaga berbasis sosial keagamaan yang memiliki jargon Islam berkemajuan, Islam progresif yang relevan dengan perkembangan zaman dan memberikan solusi bagi permasalahan umat dan kehidupan layak menjadi garda terdepan.

Kontributor

Sukardi
(Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan – PDM Kota Cirebon)
Tim Media Muhammadiyah Kota Cirebon

Komentar (Tanggapan)

Satu tanggapan untuk “Menyiasati Jebakan FOMO”

  1. Avatar Arofah Firdaus

    Artikel ini menyoroti bahaya dari gaya hidup konsumtif yang mengedepankan kenikmatan sesaat tanpa mempertimbangkan risiko masa depan, terutama dalam hal berutang. Luar biasa master.

Kirim Tanggapan