Pengajian rutin PCM/PCA Harjamukti pekan keempat pada Ahad 28 September 2025 kali ini mengangkat tema tentang mawaris (hukum waris). Menghadirkan narasumber Drs. Abdul Azis Fahrurozi (Ketua Majelis Tarjih PD Muhammadiyah Kota Cirebon). Bertempat di Masjid Nursangkana, Kelurahan Kalijaga Kecamatan Harjamukti.

Di awal pemaparannya Abdul Azis menyampaikan bahwa hukum waris termasuk hukum Islam yang berkembang di masyarakat karena kebutuhan masyarakat dengan dasar kehidupan umat sebelumnya. Hukum masa lalu tersebut kemudian disempurnakan oleh masyarakat supaya tercapai kondisi tenteram, aman, dan sejahtera.
Hukum waris berlaku jika memenuhi persyaratan yaitu ada yang meninggal, ada ahli waris, dan ada harta yang diwariskan. Selain waris adalah istilah wasiat (harta diberikan kepada orang lain). Perbedaannya dengan waris adalah wasiat berlaku ketika pemilik harta belum meninggal dan harus ada saksi.
Selanjutnya Abdul Azis menjelaskan tentang persyaratan. mendapat hak waris (ahli waris) yaitu:
- pertama, jika ada pertalian kerabat ke bawah (anak, cucu, cicit), ke atas (ayah, ibu, kakek, nenek), dan ke samping (kakak, adik, paman, bibi). Hak waris tidak dapat berlaku jika terhalang, misalnya cucu tidak mendapat waris jika masih ada anak,
- kedua, jika ada perjanjian karena perkawinan, dan
- ketiga, jika mengadopsi anak
Disampaikan juga bahwa semasa zaman jahiliyah, perempuan dan anak tidak mendapat warisan. Pada awal berkembangnya agama Islam hak waris memang jika ada pertalian kerabat, adopsi, hijrah, dan persaudaraan. Hukum waris selalu herkembang seiring perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan agama Islam.
Mawaris terjadi karena ada sebab yaitu ada pertalian kerabat, ada perkawinan yang sah. Disinggung juga bahwa perkawinan dalam Islam adalah jika memenuhi syarat ada calon pengantin (laki dan perempuan), ada wali, dan ada saksi. Dalam perkawinan terdapat hak, kewajiban, dan harta bersama. Harta dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta gono-gini (yang diperoleh selama pernikahan). Sedangkan harta setelah perkawinan berakhir (suami/isteri meninggal atau bercerai) berupa harta bawaan suami/isteri sebelum menikah ditambah setengah dari nilai harta gono-gini.
Selain memenuhi persyaratan di atas perkawinan yang sah dibuktikan oleh adanya akta nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) atau ada penetapan dari Pengadilan Agama tentang isbat nikah.
Pengajian diakhiri dengan diskusi yang cukup seru. Ditambah dengan contoh-contoh kejadian urusan perkawinan dan perceraian yang disampaikan oleh Abdul Azis yang saat ini berafiliasi sebagai Kepala KUA di Kabupaten Cirebon.
Tinggalkan Balasan ke E. LusiantiBatalkan balasan