Menarik ketika Abdul Mu’ti memberikan statement bahwa ada 4 varian dalam Muhammadiyah. Muhlas, Muda, Munu dan Marmud. Muhlas (Muhammadiyah Ikhlas) adalah muhammadiyah yang masih mempersoalkan tahlilan, barjanji dan amalan tarekat lainnya. Muda (Muhamamdiyah Ahmad Dahlan) adalah muhammadiyah yang rasional, terbuka dan bisa bergaul dengan siapa saja. Munu (Muhammadiyah NU) adalah muhammadiyah yang beramal dengan amalan NU. Marmud (Marhaenis Muhammadiyah) adalah Muhammadiyah tapi partainya PDI Perjuangan. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah, dari keempat varian yang disebutkan oleh salah satu pakar pendidikan Islam di Indonesia yang menjabat sebagai Sekjen PP Muhammadiyah dan sekarang menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah tersebut, termasuk varian yang manakah kita ?
Apapun pilihannya, satu hal yang harus diingat adalah, bahwa Persyarikatan Muhammadiyah hanyalah sebuah wadah bukan tujuan. Muhammadiyah, NU, Persis, atau organisasi keagamaan Islam lainnnya hanyalah sebuah wadah atau wahana untuk memudahkan pengelolaan sumber daya dalam rangka mencapai tujuan mulia, menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Pilihan model dawah dari setiap organisasi keagamaan bukan satu hal yang perlu dipersoalkan atau akan memunculkan konflik tetapi justru menjadi khazanah yang saling melengkapi. Kondisi mad’u (masyarakat yang menerima da’wah) yang beragam dari sisi geografis sosiologis, sosial ekonomi, spiritualitas intelektualitas memang harus disiasati dengan model yang beragam pula.
Varian muhlas dari empat varian yang disebutkan Abdul Mut’i memang harus mulai melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap keberagaman latar belakang masyarakat yang ada di Indonesia. Termasuk diantaranya melakukan rekonstruksi pemikiran fiqh berdasarkan ucapan Nabi -yang menurut sebagian ahli hadits tidak jelas dari sisi rawi (riwayat) , tetapi dari sisi matan (isi teks) bisa dijadikan rujukan- ikhtilawati ummatii rahmah, bahwa perbedaan yang terjadi pada ummatku merupakan rahmat. Bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan, sebuah sunnatullah yang harus diterima secara arif. Perbedaan bisa terjadi dalam metodologi penafsiran nash (dalil), perbedaan dalam ushul fiqh, perbedaan dalam memahami konteks hadits dan sebagainya. Pendapat satu fuqaha tidak dapat mengeliminasi pendapat fuqaha lain. Rekonstruksi pemahaman keberagaman latar belakang dan pemikiran fiqh perlu dilakukan oleh varian muhlas karena Persyarikatan Muhammadiyah berada di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dan juga menjadi syarat yang menentukan ketika akan melakukan penetrasi sosial, mengenalkan Muhammadiyah di tengah masyarakat yang belum mengenal nilai-nilai kemuhammadiyahan.
Salah satu sumber daya yang sangat mendukung keberhasilan program dawah adalah uang/dana. Belajar dari Founding Father Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan yang menggunakan dana pribadi saat mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Bercermin pada teologi al Maun yang diusung, memulyakan anak yatim dengan kekuatan finansial yang dimilikinya.
Termasuk ketika mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (sekarang RS PKU) yang memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat umum tanpa melihat latar belakang. Maka ke empat varian harus memahami betul arti pentingnya kekuatan finansial dalam implementasi bermuhammadiyah.
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” adalah jargon yang harus menjadi pegangan utama untuk setiap anggota persyarikatan. Berjuang dan berkontribusi membesarkan organisasi bukan menjadikannya sekedar mencari nafkah. Jargon tersebut paling tidak mengandung konsekwensi logis bagi para penggiat di Muhammadiyah, di antaranya :
- Pertama, penguatan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Penguatan AUM harus menjadi prioritas utama karena sejalan dengan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan teknologi wilayah-wilayah atau pelayanan ruang publik yang dulu AUM menjadi primadona telah dirambah oleh lembaga-lembaga lain dengan metode layanan yang relatif lebih maju karena didukung oleh modal finansial yang kuat. Beberapa lembaga pesaing berbentuk perorangan, firma atau PT tertutup dengan anggota relatif sedikit sehingga dalam operasional manajemennya lebih efisien. Peningkatan sarana prasarana AUM, layanan prima dan pelatihan profesional bagi para pegawai AUM akan berujung pada peningkatan profit yang berguna untuk memutar gerak sosial, dawah dan layanan lain Muhammadiyah. Menghidupi Muhammadiyah bagi pekerja AUM adalah memberikan segenap potensi yang dalam diri pekerja bagi kemajuan AUM, memberikan tenaga, pikiran, waktu dan sumber daya lainnya untuk AUM. Ketika AUM maju, laba AUM meningkat maka salary/gaji para pekerja AUM akan meningkat. Jadi bukan hal yang salah dan tidak menyalahi pesan KH Ahmad Dahlan ketika seorang pekerja berharap akan menerima salary/gaji setara dengan perusahaan lain diluar Muhammadiyah. Selama pekerja berniat ‘menghidupi Muhammadiyah’ dengan cara bekerja secara profesional dan niat tulus untuk membesarkan Muhammadiyah.
- Kedua, penguatan sirkulasi dana yang berputar di iner circle Muhammadiyah, dana bekerja dari, oleh dan untuk membesarkan Muhammadiyah. Pembuatan produk-produk dengan menyandang nama persyarikatan dan diharapkan akan dikonsumsi oleh anggota persyarikata adalah salah satu upaya cerdas. Keuntungan dari penjualan produk-produk persyarikatan akan kembali kepada persyarikatan. Termasuk pendirian lembaga keuangan yang berfungsi menerima simpanan, memberikan pinjaman anggota persyarikatan. Jasa atau margin yang diperoleh dari perputaran dana akan dimanfaatkan oleh Muhammadiyah. Pendirian BTM atau koperasi yang bergerak di bidang pengadaan layanan barang kebutuhan sehari-hari, pengadaan laptop atau kendaraan dan perumahan dengan modal/simpanan yang berasal dari anggota koperasi dan donasi dari pihak ketiga adalah satu hal yang layak diperjuangkan.
- Ketiga, jargon jangan mencari hidup di Muhammadiiyah akan lebih bermakna untuk ke 4 varian yang tidak bekerja di salah satu AUM. Penggiat Muhammadiyah yang tidak bekerja di Muhammadiyah, dan tidak bisa memberikan kontribusi secara optimal, karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah, akan mempunyai peluang lebih besar untuk mengimplementasikan jargon menghidupi Muhammadiyah secara finansial, menyisihkan nafkahnya untuk membesarkan Muhammadiyah. Bukan mencari celah atau memanfaatkan keberadaan Muhammadiyah untuk kepentingan ekonomi keluarganya. Memberikan sedekah finansial bagi kemajuan dawah Muhammadiyah menjadi landasan dalam aktifitas ekonominya. Kesadaran bahwa seseorang – jika diijinkan Allah bangkit sebentar dari kematian (QS Al Munafikun: 10)- akan memilih untuk bersedekah bukan memilih beribadah ritual terus dipupuk dalam ingatan.
- Terakhir, dan tidak kalah penting. Emha Ainun Najib pernah bertutur dalam Kumpulan puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya. “Muhammadkan hamba ya Robb, di setiap tarikan nafas dan langkah kaki …..”. Penggiat Persyarikatan Muhammadiyah dari semua varian, pasti akan sepakat dengan Emha, “memuhammad” kan diri sebagai bekal dalam bermuhammadiyah, berdoa agar dirinya menjadi sosok Muhammad Rasulallah yang memiliki akhlak budi pekerti yang agung. Memiliki spirit sosial Nabi Muhammad yang peduli dengan kemajuan dan keselamatan seluruh umat manusia. Bukan berteriak lantang “Muhammadiyahkan hamba” tapi perilakunya tidak sesuai dengan jargon yang didengungkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Ketika seseorang sudah berazam kuat minta kepada Allah agar menjadi seperti Nabi Muhamamd s.aw. kemudian dia benar-benar berusaha kuat untuk menduplikasi perilaku Rasullah maka dimanapun dia bergiat, apapun pilihan organisasinya maka orientasinya selalu hanya untuk Allah, berkhidmat utk masyarakat karena Allah, tidak akan mengharapkan pujian dari siapapun, dia akan lebih profesional saat menjadi pekerja, lebih mawas diri saat memegang jabatan. Dan pada gilirannya akan muncul varian kelima dalam Muhammadiyah, setelah muhlas, muda, munu, marmud, yaitu mugitoh …., muhammadiyah gitu loh !!!
Kontributor
Sukardi
(Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan – PDM Kota Cirebon)
Tim Media Muhammadiyah Kota Cirebon
Tinggalkan Balasan ke Arofah FirdausBatalkan balasan