TUMPENG MENOREH


Retno Kuntjorowati – Cirebon

‌Yogya memang istimewa. Banyak tempat destinasi wisata yang indah, khas, dan unik. Salah satunya adalah Tumpeng Menoreh, sebuah cafe yang dibangun di antara lembah di perbukitan Menoreh dengan view yang sangat indah dan cenderung eksotik.
‌Menoreh mengingatkan saya pada judul buku karya S.H. Mintarja sebanyak 15 jilid yaitu ‘Api di Bukit Menoreh‘. Cerita yang erat hubungannya dengan sejarah Mataram, peperangan antara Pajang dengan Jipang ini menampilkan tokoh-tokoh yang masih saya ingat antara lain Agung Sedayu, Untara, Swandaru, Alap Alap Jolotundo, Kyai Gringsing, Sekar Mirah, dan Pandan Wangi.

‌Setelah melihat tayangan tentang Tumpeng Menoreh di sebuah televisi anak saya yang bertinggal di Yogya mengajak saya, suami, anak, dan kakaknya dari Jakarta, untuk berkunjung ke Tumpeng Menoreh. Kami berangkat dari rumah anak saya di Sleman bada dzuhur. Lokasi perbukitan Menoreh adalah di Kabupaten Kulon Progo (juga termasuk wilayah Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Purworejo). Memasuki Desa Samigaluh, yaitu perbatasan Sleman dengan Kulon Progo jalanan mulai menanjak dan berbelok- belok. Jalanan semakin sepi dan mulai terlihat perbukitan yang memanjang.

Di sebuah tempat di pinggir jalan saya membaca tulisan ‘Cek rem gratis.’ Saya langsung menarik kesimpulan, jalan yang akan kami lewati adalah berbahaya, dan ternyata benar. Sampai akhirnya bertemu pos yang petugasnya mengatur kendaraan yang naik dan turun. Mereka menggunakan walky talky untuk berkomunikasi dengan petugas di bagian atas untuk memantau kendaraan yang akan melewati jalur tersebut, yang hanya dapat dilewati oleh satu mobil saja. Kami menunggu agak lama sampai semua mobil yang dari atas sudah turun sampai di pos tersebut.

Jalanan semakin sempit, berkelok dan tikungan cukup tajam. Saya melihat lembah dengan jurang yang cukup dalam di bagian kiri jalan. Agak ngeri sih, tetapi saya tidak berkomentar, khawatir anak-anak dan cucu semakin takut. Ketika sampai jalan yang bercabang, ada petugas yang mengarahkan kami untuk mengikuti jalur sebelah kiri. Jalur sebelah kanan menuju ke perkebunan teh Nglinggo, yang teh sedapnya dapat dinikmati di cafe Tumpeng Sewu.

Setelah sempat ‘sport jantung’ akhirnya kami sampai di parkiran cafe Tumpeng Sewu. Saya menghitung durasi waktu perjalanam dari Sleman sampai lokasi adalah dua jam perjalanan. Anak saya membeli tiket masuk lokasi senilai 50 ribu rupiah per orang, yang 15 ribu berupa voucher untuk membeli makanan/minuman di cafe.

Dari tempat parkiran mobil, kami berjalan menaiki tangga cukup tinggi. Untuk melanjutkan naik disediakan lift terbuka berupa kotak berukuran sekitar 1m x 1m. Lift tersebut digerakkan secara elektrikal yang menaik dan menurun melalui gir yang dapat dilihat dengan jelas. Ketika anak saya mengajak saya untuk naik lift, saya berpikir 50 kali (haa, seperti instruksi sensei sebelum kami memposting tulisan, harus dibaca 50 kali). Bagaimana tidak, di bawah lift tersebut menganga jurang yang sangat dalam yang dapat dilihat dengan jelas. “Ayo ibu, kita kan mantan Pramuka, harus berani”, demikian teriakan anak saya menyemangati. Entah kenapa saya menjadi mendadak berani. Dalam sekejap ingatan saya melayang ke puluhan tahun lalu, ketika saya harus menaiki dan menuruni jurang dengan seutas tali di kegiatan latihan Pramuka.

Bismillah, saya memasuki kotak lift bersama anak saya, dan…….masya Allah saya berada di atas jurang, setelah saya memencet tombol bergambar anak panah ke atas. Sungguh sebuah momen yang sempat memacu adrenaline yang saat itu saya rasakan. Sambil terus ndremimil berdoa, agar pergerakan lift lancar sampai tujuan. Alhamdulillah akhirnya saya nyampai ke atas dengan selamat. Memang hanya beberapa menit duduk di kotak lift, tetapi ini cukup membuat saya tegang. Begitu keluar dari lift saya sampaikan ke anak saya, turunnya nanti saya tidak mau menaik lift, biarlah saya menurun menggunakan tangga/trap meskipun cukup panjang.

Penulis berpose di atap cafe bersama cucu

Desain Cafe Tumpeng Menoreh sangat artistik. Bentuk global bangunan menyerupai tumpeng, ruangan-ruangan bentuk hexagonal dan bertingkat, dihubungkan dengan tangga. Kami menaiki tangga sampai halaman paling atas (rooftop) berbentuk hexagonal dialasi rumput sintetis. Tidak ada pagar pengaman di tepinya. Pengunjung harus ekstra berhati-hati terutama ketika menyampai di rooftop ini. Dari puncak bangunan cafe dengan ketinggian 900 mdpl saya dapat melihat puncak Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing.

Subhanallah, indah sekali. Lembah di perbukitan Menoreh memanjakan mata siapa saja yang memandangnya. Di rooftop juga tersedia fasilitas untuk berpoto dengan kamera putar. Kami tidak melewatkan kesempatan bagus ini, dan berpoto beberapa kali. Agak lama kami berdiam di rooftop, menikmati semilir sejuknya angin perbukitan Menoreh, sambil berbincang, sesekali saya membayangkan betapa seru pertempuran antara laskar Pajang dan Jipang dari cerita ‘Api di Bukit Menoreh’. Setelah puas mereguk udara dingin dan memanjakan angin gunung membelai tubuh, kami turun untuk mengeksplore apa yang ada pada lantai – lantai di bawahnya.

Tepat di bawah rooftop sampai lantai terbawah terdapat tempat makan minum. Ada juga ‘jaring pemacu adrenalin’, berupa jaring yang dapat dinaiki, tetapi jangan salah lho, bawahnya adalah jurang. Hiiii….. Saya melarang ketika anak saya sudah melepas sepatunya untuk menaiki jaring tersebut. Haa….mungkin faktor U yang membuat saya mudah takut. Kami melewati beberapa

Di lokasi Tumpeng Menoreh juga tersedia mushola. Diantara beberapa tempat betistirahat dan bersantai, terdapat Tumpeng Coffe, ini seperti tempat-tempat ngopi yang banyak saya lihat di kota. Agak di bawah Tumpeng Menoreh, dihubungkan dengan lift kotak menuju ke sebuah cafe lain yaitu Tumpeng Ayu, tetapi kami tidak berniat mengunjungi. Akhirnya setelah lelah dan perut terasa lapar kami berhenti di salah satu tempat makan yang di tata dengan meja dipinggir bangunan sehingga ketika makan orang dapat menikmati pemandangan indah perbukitan Menoreh.

Dari jauh nampak bangunan-bangunan yang terletak di lereng Menoreh, yang merupaka lokasi glamcamp. Kurang lebih dua jam kami berada di Tumpeng Menoreh, ketika sudah semakin sore, kabut mulai nampak dan dingin terasa semakin menusuk tulang, kami turun ke tempat parkiran mobil. Saya turun melalui tangga, tidak menaik lift meskipun terasa agak lelah. Dalam perjalanan pulang cucu saya yang berumur lima tahun nyeletuk : “Ibu jangan pergi ke sini lagi ya, takut.”. Haa……kapok, mungkin karena masih kecil. Suatu saat nanti mungkin dia akan ingin kembali berkunjung ke Tumpeng Menoreh yang indah dan dikelilingi perbukitan hijau nan asri.

Paling tidak saya telah mengunjungi tempat yang ada dalam cerita ‘Api di Bukit Menoreh‘ yang dibalut sejarah kasultanan Mataram. Alhamdulillah.

Komentar (Tanggapan)

2 tanggapan untuk “TUMPENG MENOREH”

  1. Avatar Budi Sy.

    Saya juga pernah baca “Api di Bukti Menoreh” SH Mintarja versi ebook khatam 15 jilid. Ingin juga nanti berkunjung kesini, Insya Allah…

    Semangat terus menulis, bu hajah….
    Membaca itu sehat, menulis itu hebat!

  2. Avatar Arofah Firdaus

    Artikel ini sangat menginspirasi dan memberikan gambaran yang hidup tentang keindahan serta tantangan mengunjungi Tumpeng Menoreh di Yogyakarta. Penuturan pengalaman pribadi penulis yang penuh dengan cerita perjalanan, suasana alam, hingga sejarah budaya membuat pembaca seolah ikut merasakan petualangan seru dan keindahan alam perbukitan Menoreh. Selain itu, narasi yang detail tentang kondisi jalan, desain cafe, dan pemandangan gunung-gunung sekitar menambah daya tarik artikel ini sehingga sangat informatif dan menarik untuk dibaca serta dijadikan referensi wisata.

Tinggalkan Balasan ke Arofah FirdausBatalkan balasan